“Hmh, satu lagi,” bisik Patiluan tak jelas, dan menghampiri si korban hanya untuk mencabut keris Kintan yang bersarang di lehernya. Darah menciprat deras ketika keris itu dicabut, seperti mengangkat batu yang menyumbat leher mata air panas.
“Jangan sakiti dia!” teriak Kintan. Ia terjepit kini. Patiluan bisa saja membunuh gadis di gerbang itu. Tapi jika ia bangkit untuk menangkap lengan Patiluan, kain yang dipakainya untuk menutupi sosok yang ia tolong bisa tersingkap, dan bukan mustahil Patiluan akan membunuh mereka semua jika tahu apa yang ia sembunyikan, siapapun itu.
Tapi rupanya Patiluan menghentikan langkahnya, dan ganti menatap Kintan. Kintan menahan napas.
“Kau ingin menyuruhku melepaskan dia, huh? Kau ingin menyuruhku melepaskan dia?!”
“Dia gadis pelayanku! Jangan sakiti dia, Patiluan!” raung Kintan, tak bisa lagi mempertahankan sikap tenangnya.
Patiluan menegakkan punggung. “Baik, baik, karena itu permintaanmu, akan kubiarkan nyawa pelayan berhargamu,” dan ia menambahkan lagi, masih di bawah pengaruh tuaknya, “kau harusnya tahu, ini bagian dari kebaikan hati seorang Patiluan!”
Ia terbahak aneh, membuang keris Kintan begitu saja, dan melangkah gontai keluar tanpa memalingkan muka lagi. Gadis pelayan Kintan mengkeret di tempatnya, jelas ia bergetar hebat saat Patiluan melewatinya. Terlebih saat Patiluan berhenti sejenak di dekatnya, membisikkan entah apa, dan lantas berlalu seraya berteriak-teriak ngawur memanggil-manggil anak buahnya.
Baru setelah pria itu menghilang di balik kegelapan dan suaranya kian sayup, gadis itu merosot lemas ke tanah, jatuh terduduk.
Kintan segera sadar dari kebekuannya. Tidak, masalah yang dihadapinya bukan saja soal Patiluan. Ada lebih dari itu.
Disingkapkannya kain yang menutupi dirinya dan sebagian permukaan kolam. Wajah lemas seorang gadis menyeruak ke permukaan. Ia masih belum sadar, dan dalam soal ini Kintan sedikit bersyukur, karena entah apa yang akan terjadi kalau mendadak gadis itu sadar saat ia menghadapi Patiluan yang setengah gila tadi.
Gerakan Kintan yang aneh tertangkap gadis pelayannya. Ia mendekat dengan takut-takut, berusaha tidak melihat sosok yang sudah mati itu seakan sosok itu bisa kapan saja bangkit menjadi mayat hidup yang akan menerkamnya. Dan begitu ia hampir mencapai bibir kolam, apa yang dilihatnya membuatnya jantungnya merosot.
Sesosok wajah pucat tampak menyembul dari sela-sela kain basahan yang tersingkap. Wajah seorang gadis, putih, nyaris tanpa darah.
Sesosok wajah pucat tampak menyembul dari sela-sela kain basahan yang tersingkap. Wajah seorang gadis, putih, nyaris tanpa darah.
Pekikan kecil sempat menyelinap dari bibirnya sebelum ia segera sadar dan membekap mulutnya.
“Dyah, apa yang …” bisiknya gemetar.
Kintan menoleh. Wajahnya menyiratkan permohonan bantuan. "Rahasia kecil, heh?” katanya di balik senyum yang dipaksakan.
Gadis pelayan Kintan itu berjuang keras menghalau rasa penasarannya, yang kini bahkan sudah berkembang melebihi rasa takutnya. Dibantunya majikannya keluar dari kolam, yang lantas masih dengan kain basahan melekat di tubuhnya, menarik tubuh lemas sosok itu.
“Kau lebih mengerti masalah pengobatan. Periksa dia, Saga,” titah Kintan.
Tapi tanpa itu pun, gadis pelayan yang dipanggil Saga itu sudah turun tangan. Disentuhnya beberapa titik di tubuh lemah itu, berusaha mencari tahu detak jantungnya. Lantas ditekankannya tangannya di dada sosok itu, berupaya mengeluarkan air yang tanpa sengaja tertelan ketika Kintan mendorong kepalanya masuk ke air.
Satu tekanan, dua tekanan, tiga tekanan, dan tiba-tiba sosok gadis itu tersedak. Air membuncah dari mulutnya. Kintan melihat sedikit harapan ketika kedua mata itu bergerak-gerak, lantas membuka perlahan. Kepalanya sedikit bergerak, pertanda hadirnya kesadaran.
Tapi harapan itu tipis adanya. Karena tak sampai dua detik, lagi-lagi kepala itu kembali terkulai. Matanya pun kembali tertutup. Ia kembali pingsan!
Saga bergegas memeriksa. “Tidak bisa,” katanya seraya menatap mata Kintan, “ia masih terlalu lemah.”
“Kalau begitu panggilkan kereta. Kita harus membawanya pulang.”
Saga terpana sejenak. “Dyah…,” bisiknya, mencoba memperingatkan, “kau tak bisa membawanya pulang begitu saja. Siapa dia?”
“Panggil saja kereta, Saga. Sisanya tanggung jawabku.”
Dan dengan beban perintah itu Saga menggigit bibir, lantas bergegas keluar taman. Dipandangnya bayangan Kintan yang sedang memangku sosok itu dengan rasa khawatir, dan ditutupnya pintu gerbang taman.
Kintan tak hendak berlama-lama memangku sosok itu tanpa bisa melakukan apa pun. Lekas digantinya pakaiannya, dan dibereskannya barang-barangnya, termasuk keris kecil yang dipakai Patiluan membunuh penjaga malang yang masih tergolek di sudut. Ia bahkan merapikan bekas mandinya, melipat kain basahan dan menyusun peralatan mandinya. Sehingga ketika Saga kembali dengan seorang sais besertanya, ia sudah siap kabur dari tempat itu.
Entah Saga memang sudah membicarakan situasi tersebut dengan si sais atau sais itu memang sudah berpengalaman mengurusi situasi semacam ini, sama sekali tak ada komentar dari si sais ketika membopong tubuh lemas si gadis masuk ke kereta. Ia bahkan tidak berkomentar apapun mengenai sosok bersimbah darah di pojok, bahkan terkesan berusaha memalingkan muka agar tidak melihat sosok itu. Seharusnya itu membuat Kintan curiga, tapi nyatanya ia jelas-jelas lega atas tiadanya pertanyaan yang sewajarnya ada tersebut. Walau mungkin saja ia alpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk di baliknya.
Saga memasukkan barang terakhir Kintan ke kereta, dan membantu Kintan menarik ujung selendangnya,tetapi rupanya ia tidak turut. Kintan pun rupanya tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi ia sempat bertukar pandangan aneh, yang sukar dilukiskan, sebelum si sais menghela kudanya.
Kereta meluncur tergesa, menghilang di balik malam yang perlahan mulai kehilangan pekatnya. Siluet kereta memudar, terhalang siluet hitam tembok-tembok bata dan pepohonan. Dan tersisa Saga, yang tak lama terhanyut memandang perginya kereta. Bayangan gadis itu pun segera menghilang, bersamaan dengan ditutupnya kembali pintu taman.
Ya, pekerjaan Saga belum selesai.
Pembunuhan, bagaimanapun, selalu meninggalkan jejak. Dan jejak selalu menyisakan pertanyaan, selalu menghadirkan permasalahan. Jika seorang penjaga terbunuh, walaupun ia hanya penjaga, sang raja mungkin tidak mengungkitnya sehingga tak menjadi masalah besar bagi negara. Tetapi bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan?
Seorang penjaga selalu memiliki resiko kematian yang tak bsia dielakkan, semua tahu itu. Masalahnya adalah di mana kematian itu, apa yang menyebabkannya, siapa yang terlibat.
Jika penjaga mati karena jelas-jelas dibunuh penjahat, itu bagus. Tetapi jika seorang bangsawan terlibat di tempat kejadian, itu masalah besar. Apalagi jika tempat kejadian itu adalah taman mandi, ini bisa lebih dari masalah pidana—ini adalah skandal. Karena siapapun bisa dengan mudah mengembangkan gosip yang tidak-tidak tentang seorang putri bangsawan dan penjaga yang terbunuh di taman mandi.
Dan lagi, siapapun bisa dengan mudah menghubungkan tempat mandi itu dengan Kintan. Jika Kintan memperoleh izin menggunakannya secara resmi, minimal orang yang ada di tempat ketika Kintan memperoleh izin tersebut, dayang atau pengawal raja misalnya, jika bukan raja sendiri, dapat saja membocorkannya. Dan entah apa yang akan terjadi nanti.
Itu sudah pasti terjadi bila fajar datang dan para pelayan yang datang untuk membersihkan tempat itu menemukan mayat tergeletak. Lain halnya jika si mayat tak ada di situ, atau tak ada bekas pembunuhan di situ. Tambah lagi, sistem pertukaran penjaga saat itu lumayan menguntungkan. Seorang penjaga tak pernah ditempatkan di satu tempat sehari-semalam penuh, dan bahkan ia tidur di pos sehingga tak tentu setiap hari pulang menemui keluarganya.
Jika Saga bisa menunjukkan bahwa penjaga yang mati itu sudah pindah jaga ke pos lain ketika penjaga baru yang tugas pagi datang, dan Kintan sudah pergi jauh sebelumnya, semua masalah teratasi. Yang lebih mudah adalah menunjukkan bahwa si penjaga dibunuh buronan yang kabur malam itu, tetapi jangan sampai berlokasi di tempat itu. Saga bisa saja menunjukkan sisi jelek si penjaga, misalnya si penjaga kabur dari tugas jaga untuk pergi ke tempat pelacuran dan dibunuh di sana. Atau terbunuh di tempat jaga selanjutnya.
Pikiran Saga yang tengah sibuk menyusun rencana tiba-tiba terkacaukan oleh langkah-langkah berat. Dan pintu mendadak menjeblak terbuka. Menampakkan tidak hanya seorang, tidak juga dua, melainkan tiga orang dengan pedang siaga. Dan Saga bahkan tidak sempat bersembunyi.
Dan ujung pedang yang tiba-tiba terhunus ke arahnya membuat jantungnya berhenti.
“Tahan!” terdengar suara yang dikenalnya. Dan si empunya suara menampakkan sosoknya, maju ke muka sehingga Saga bisa jelas melihat wajahnya.
Patiluan. Ia kembali.
“Pelayan Kintan rupanya. Kau masih di sini?”
Saga bukan berlagak gugup, ia memang benar-benar gugup saat menjawabnya. “Dy, Dyah… pulang… ha, hamba…diperintahkan untuk membersihkan…”
Tak dinyana, Patiluan tertawa. Kumis tipisnya bergerak-gerak di atas bibirnya.
“Hahaha, aku membayangkan anak itu lari ketakutan setelah kejadian tadi. Dan kau disuruh membersihkan? Rupanya ia takut dicurigai …”
Patiluan tersenyum. Senyum yang aneh. Dan Saga baru menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda antara sosok ini dan sosok yang tadi membunuh penjaga di hadapannya.
Ia teringat Kintan, yang satu waktu mengomentari pedas Patiluan sepulang dari pertemuan rutin mereka, “Dia pada saat mabuk dan sadar selalu berbeda. Logis, terkontrol, dan misterius saat pikirannya waras, yang segera berganti menjadi orang brengsek berandalan yang dengan mudah menghancurkan diri sendiri saat mabuk. Tetapi tetap saja menyebalkan, dan selalu mudah menarik pedangnya.”
Jadi, inikah sosok Patiluan saat sadar?
Saga buru-buru sadar dan menunduk, tak berani menatap mata Patiluan.
“Pulang dan sampaikan pada majikanmu permohonan maafku untuk membuatnya ketakutan. Dan jangan datang lagi ke tempat ini atau bicara dengan siapapun tentang kejadian tadi.”
Saga mengangguk.
“Tunggu apa lagi? Pulang sana!”
Perintah itu membuat Saga melonjak. Berusaha mendamaikan debaran jantungnya, ia segera menghormat dan beringsut menjauh.
“Oh, tunggu!” tiba-tiba kalimat Patiluan menahannya. Dan dengan gugup ia berbalik, masih dengan posisi beringsut.
Patiluan menghampirinya, mencabut keris dari pinggangnya dan mempermainkannya di tangannya. Mata Saga membeliak nanar, di benaknya sudah bermain ketakutan Patiluan akan menggoroknya dengan keris itu, toh itu tidak terlalu berbeda dengan yang barusan dilakukannya pada penjaga malang itu.
Dan tindakan Patiluan memang tak jauh dari itu. Didekatkannya bibirnya ke telinga Saga, dan masih dengan pisau di tangannya, dia mulai bicara dengan nada mengancam, “Tapi ingat, kalau sampai kejadian ini bocor ke luar, kau dan majikan kecilmu yang pertama kali akan kucari.”
Saga terkesiap. Ini memang wajar, sebenarnya, jika mengingat sifat Patiluan dan keseluruhan kejadian itu. Ia pribadi juga sudah memprediksikan adegan itu. Tetapi mengalaminya langsung, mendengar langsung nada itu dan melihat langsung kilat keris itu, tak urung membuat hatinya kecut juga.
Ia mengangguk gemetar, dan segera menjauh.
Suara-suara rusuh di dalam segera hilang begitu pintu jati tebal itu tertutup. Saga tahu, bukan pekerjaan mudah membersihkan segala sesuatu di dalam, seberapa profesional pun tenaga pembersih yang dibawa Patiluan. Terlebih, beberapa jam lagi pagi menjelang dan bukan tidak mungkin putri-putri keraton akan berduyun-duyun datang untuk mandi.
Dan Saga memandang hampa ke langit malam.
Bulan, jika memang ia tampak malam itu, tentunya sudah hampir tenggelam. Jauh di atas sana, di balik pekatnya malam, Saga bisa melihat setitik sinar redup yang kepayahan berusaha menembus tebalnya mendung yang menyaputi langit. Bintang fajar telah menampakkan diri.
◊ ◊ ◊