Senin, Juni 01, 2009

rontal satu - dara di awal malam (3)

“Hmh, satu lagi,” bisik Patiluan tak jelas, dan menghampiri si korban hanya untuk mencabut keris Kintan yang bersarang di lehernya. Darah menciprat deras ketika keris itu dicabut, seperti mengangkat batu yang menyumbat leher mata air panas.

“Jangan sakiti dia!” teriak Kintan. Ia terjepit kini. Patiluan bisa saja membunuh gadis di gerbang itu. Tapi jika ia bangkit untuk menangkap lengan Patiluan, kain yang dipakainya untuk menutupi sosok yang ia tolong bisa tersingkap, dan bukan mustahil Patiluan akan membunuh mereka semua jika tahu apa yang ia sembunyikan, siapapun itu.

Tapi rupanya Patiluan menghentikan langkahnya, dan ganti menatap Kintan. Kintan menahan napas.

“Kau ingin menyuruhku melepaskan dia, huh? Kau ingin menyuruhku melepaskan dia?!”

“Dia gadis pelayanku! Jangan sakiti dia, Patiluan!” raung Kintan, tak bisa lagi mempertahankan sikap tenangnya.

Patiluan menegakkan punggung. “Baik, baik, karena itu permintaanmu, akan kubiarkan nyawa pelayan berhargamu,” dan ia menambahkan lagi, masih di bawah pengaruh tuaknya, “kau harusnya tahu, ini bagian dari kebaikan hati seorang Patiluan!”

Ia terbahak aneh, membuang keris Kintan begitu saja, dan melangkah gontai keluar tanpa memalingkan muka lagi. Gadis pelayan Kintan mengkeret di tempatnya, jelas ia bergetar hebat saat Patiluan melewatinya. Terlebih saat Patiluan berhenti sejenak di dekatnya, membisikkan entah apa, dan lantas berlalu seraya berteriak-teriak ngawur memanggil-manggil anak buahnya.
Baru setelah pria itu menghilang di balik kegelapan dan suaranya kian sayup, gadis itu merosot lemas ke tanah, jatuh terduduk.

Kintan segera sadar dari kebekuannya. Tidak, masalah yang dihadapinya bukan saja soal Patiluan. Ada lebih dari itu.

Disingkapkannya kain yang menutupi dirinya dan sebagian permukaan kolam. Wajah lemas seorang gadis menyeruak ke permukaan. Ia masih belum sadar, dan dalam soal ini Kintan sedikit bersyukur, karena entah apa yang akan terjadi kalau mendadak gadis itu sadar saat ia menghadapi Patiluan yang setengah gila tadi.

Gerakan Kintan yang aneh tertangkap gadis pelayannya. Ia mendekat dengan takut-takut, berusaha tidak melihat sosok yang sudah mati itu seakan sosok itu bisa kapan saja bangkit menjadi mayat hidup yang akan menerkamnya. Dan begitu ia hampir mencapai bibir kolam, apa yang dilihatnya membuatnya jantungnya merosot.

Sesosok wajah pucat tampak menyembul dari sela-sela kain basahan yang tersingkap. Wajah seorang gadis, putih, nyaris tanpa darah.

Pekikan kecil sempat menyelinap dari bibirnya sebelum ia segera sadar dan membekap mulutnya.

“Dyah, apa yang …” bisiknya gemetar.

Kintan menoleh. Wajahnya menyiratkan permohonan bantuan. "Rahasia kecil, heh?” katanya di balik senyum yang dipaksakan.

Gadis pelayan Kintan itu berjuang keras menghalau rasa penasarannya, yang kini bahkan sudah berkembang melebihi rasa takutnya. Dibantunya majikannya keluar dari kolam, yang lantas masih dengan kain basahan melekat di tubuhnya, menarik tubuh lemas sosok itu.

“Kau lebih mengerti masalah pengobatan. Periksa dia, Saga,” titah Kintan.

Tapi tanpa itu pun, gadis pelayan yang dipanggil Saga itu sudah turun tangan. Disentuhnya beberapa titik di tubuh lemah itu, berusaha mencari tahu detak jantungnya. Lantas ditekankannya tangannya di dada sosok itu, berupaya mengeluarkan air yang tanpa sengaja tertelan ketika Kintan mendorong kepalanya masuk ke air.

Satu tekanan, dua tekanan, tiga tekanan, dan tiba-tiba sosok gadis itu tersedak. Air membuncah dari mulutnya. Kintan melihat sedikit harapan ketika kedua mata itu bergerak-gerak, lantas membuka perlahan. Kepalanya sedikit bergerak, pertanda hadirnya kesadaran.

Tapi harapan itu tipis adanya. Karena tak sampai dua detik, lagi-lagi kepala itu kembali terkulai. Matanya pun kembali tertutup. Ia kembali pingsan!

Saga bergegas memeriksa. “Tidak bisa,” katanya seraya menatap mata Kintan, “ia masih terlalu lemah.”

“Kalau begitu panggilkan kereta. Kita harus membawanya pulang.”

Saga terpana sejenak. “Dyah…,” bisiknya, mencoba memperingatkan, “kau tak bisa membawanya pulang begitu saja. Siapa dia?”

“Panggil saja kereta, Saga. Sisanya tanggung jawabku.”

Dan dengan beban perintah itu Saga menggigit bibir, lantas bergegas keluar taman. Dipandangnya bayangan Kintan yang sedang memangku sosok itu dengan rasa khawatir, dan ditutupnya pintu gerbang taman.

Kintan tak hendak berlama-lama memangku sosok itu tanpa bisa melakukan apa pun. Lekas digantinya pakaiannya, dan dibereskannya barang-barangnya, termasuk keris kecil yang dipakai Patiluan membunuh penjaga malang yang masih tergolek di sudut. Ia bahkan merapikan bekas mandinya, melipat kain basahan dan menyusun peralatan mandinya. Sehingga ketika Saga kembali dengan seorang sais besertanya, ia sudah siap kabur dari tempat itu.

Entah Saga memang sudah membicarakan situasi tersebut dengan si sais atau sais itu memang sudah berpengalaman mengurusi situasi semacam ini, sama sekali tak ada komentar dari si sais ketika membopong tubuh lemas si gadis masuk ke kereta. Ia bahkan tidak berkomentar apapun mengenai sosok bersimbah darah di pojok, bahkan terkesan berusaha memalingkan muka agar tidak melihat sosok itu. Seharusnya itu membuat Kintan curiga, tapi nyatanya ia jelas-jelas lega atas tiadanya pertanyaan yang sewajarnya ada tersebut. Walau mungkin saja ia alpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk di baliknya.

Saga memasukkan barang terakhir Kintan ke kereta, dan membantu Kintan menarik ujung selendangnya,tetapi rupanya ia tidak turut. Kintan pun rupanya tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi ia sempat bertukar pandangan aneh, yang sukar dilukiskan, sebelum si sais menghela kudanya.

Kereta meluncur tergesa, menghilang di balik malam yang perlahan mulai kehilangan pekatnya. Siluet kereta memudar, terhalang siluet hitam tembok-tembok bata dan pepohonan. Dan tersisa Saga, yang tak lama terhanyut memandang perginya kereta. Bayangan gadis itu pun segera menghilang, bersamaan dengan ditutupnya kembali pintu taman.

Ya, pekerjaan Saga belum selesai.

Pembunuhan, bagaimanapun, selalu meninggalkan jejak. Dan jejak selalu menyisakan pertanyaan, selalu menghadirkan permasalahan. Jika seorang penjaga terbunuh, walaupun ia hanya penjaga, sang raja mungkin tidak mengungkitnya sehingga tak menjadi masalah besar bagi negara. Tetapi bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan?

Seorang penjaga selalu memiliki resiko kematian yang tak bsia dielakkan, semua tahu itu. Masalahnya adalah di mana kematian itu, apa yang menyebabkannya, siapa yang terlibat.

Jika penjaga mati karena jelas-jelas dibunuh penjahat, itu bagus. Tetapi jika seorang bangsawan terlibat di tempat kejadian, itu masalah besar. Apalagi jika tempat kejadian itu adalah taman mandi, ini bisa lebih dari masalah pidana—ini adalah skandal. Karena siapapun bisa dengan mudah mengembangkan gosip yang tidak-tidak tentang seorang putri bangsawan dan penjaga yang terbunuh di taman mandi.

Dan lagi, siapapun bisa dengan mudah menghubungkan tempat mandi itu dengan Kintan. Jika Kintan memperoleh izin menggunakannya secara resmi, minimal orang yang ada di tempat ketika Kintan memperoleh izin tersebut, dayang atau pengawal raja misalnya, jika bukan raja sendiri, dapat saja membocorkannya. Dan entah apa yang akan terjadi nanti.

Itu sudah pasti terjadi bila fajar datang dan para pelayan yang datang untuk membersihkan tempat itu menemukan mayat tergeletak. Lain halnya jika si mayat tak ada di situ, atau tak ada bekas pembunuhan di situ. Tambah lagi, sistem pertukaran penjaga saat itu lumayan menguntungkan. Seorang penjaga tak pernah ditempatkan di satu tempat sehari-semalam penuh, dan bahkan ia tidur di pos sehingga tak tentu setiap hari pulang menemui keluarganya.

Jika Saga bisa menunjukkan bahwa penjaga yang mati itu sudah pindah jaga ke pos lain ketika penjaga baru yang tugas pagi datang, dan Kintan sudah pergi jauh sebelumnya, semua masalah teratasi. Yang lebih mudah adalah menunjukkan bahwa si penjaga dibunuh buronan yang kabur malam itu, tetapi jangan sampai berlokasi di tempat itu. Saga bisa saja menunjukkan sisi jelek si penjaga, misalnya si penjaga kabur dari tugas jaga untuk pergi ke tempat pelacuran dan dibunuh di sana. Atau terbunuh di tempat jaga selanjutnya.

Pikiran Saga yang tengah sibuk menyusun rencana tiba-tiba terkacaukan oleh langkah-langkah berat. Dan pintu mendadak menjeblak terbuka. Menampakkan tidak hanya seorang, tidak juga dua, melainkan tiga orang dengan pedang siaga. Dan Saga bahkan tidak sempat bersembunyi.
Dan ujung pedang yang tiba-tiba terhunus ke arahnya membuat jantungnya berhenti.

“Tahan!” terdengar suara yang dikenalnya. Dan si empunya suara menampakkan sosoknya, maju ke muka sehingga Saga bisa jelas melihat wajahnya.

Patiluan. Ia kembali.

“Pelayan Kintan rupanya. Kau masih di sini?”

Saga bukan berlagak gugup, ia memang benar-benar gugup saat menjawabnya. “Dy, Dyah… pulang… ha, hamba…diperintahkan untuk membersihkan…”

Tak dinyana, Patiluan tertawa. Kumis tipisnya bergerak-gerak di atas bibirnya.

“Hahaha, aku membayangkan anak itu lari ketakutan setelah kejadian tadi. Dan kau disuruh membersihkan? Rupanya ia takut dicurigai …”

Patiluan tersenyum. Senyum yang aneh. Dan Saga baru menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda antara sosok ini dan sosok yang tadi membunuh penjaga di hadapannya.

Ia teringat Kintan, yang satu waktu mengomentari pedas Patiluan sepulang dari pertemuan rutin mereka, “Dia pada saat mabuk dan sadar selalu berbeda. Logis, terkontrol, dan misterius saat pikirannya waras, yang segera berganti menjadi orang brengsek berandalan yang dengan mudah menghancurkan diri sendiri saat mabuk. Tetapi tetap saja menyebalkan, dan selalu mudah menarik pedangnya.”

Jadi, inikah sosok Patiluan saat sadar?

Saga buru-buru sadar dan menunduk, tak berani menatap mata Patiluan.

“Pulang dan sampaikan pada majikanmu permohonan maafku untuk membuatnya ketakutan. Dan jangan datang lagi ke tempat ini atau bicara dengan siapapun tentang kejadian tadi.”

Saga mengangguk.

“Tunggu apa lagi? Pulang sana!”

Perintah itu membuat Saga melonjak. Berusaha mendamaikan debaran jantungnya, ia segera menghormat dan beringsut menjauh.

“Oh, tunggu!” tiba-tiba kalimat Patiluan menahannya. Dan dengan gugup ia berbalik, masih dengan posisi beringsut.

Patiluan menghampirinya, mencabut keris dari pinggangnya dan mempermainkannya di tangannya. Mata Saga membeliak nanar, di benaknya sudah bermain ketakutan Patiluan akan menggoroknya dengan keris itu, toh itu tidak terlalu berbeda dengan yang barusan dilakukannya pada penjaga malang itu.

Dan tindakan Patiluan memang tak jauh dari itu. Didekatkannya bibirnya ke telinga Saga, dan masih dengan pisau di tangannya, dia mulai bicara dengan nada mengancam, “Tapi ingat, kalau sampai kejadian ini bocor ke luar, kau dan majikan kecilmu yang pertama kali akan kucari.”

Saga terkesiap. Ini memang wajar, sebenarnya, jika mengingat sifat Patiluan dan keseluruhan kejadian itu. Ia pribadi juga sudah memprediksikan adegan itu. Tetapi mengalaminya langsung, mendengar langsung nada itu dan melihat langsung kilat keris itu, tak urung membuat hatinya kecut juga.

Ia mengangguk gemetar, dan segera menjauh.

Suara-suara rusuh di dalam segera hilang begitu pintu jati tebal itu tertutup. Saga tahu, bukan pekerjaan mudah membersihkan segala sesuatu di dalam, seberapa profesional pun tenaga pembersih yang dibawa Patiluan. Terlebih, beberapa jam lagi pagi menjelang dan bukan tidak mungkin putri-putri keraton akan berduyun-duyun datang untuk mandi.

Dan Saga memandang hampa ke langit malam.

Bulan, jika memang ia tampak malam itu, tentunya sudah hampir tenggelam. Jauh di atas sana, di balik pekatnya malam, Saga bisa melihat setitik sinar redup yang kepayahan berusaha menembus tebalnya mendung yang menyaputi langit. Bintang fajar telah menampakkan diri.

◊ ◊ ◊

rontal satu - dara di awal malam (2)

Dyah Kinanti Kencanaartha sedikit bergidik tatkala dicelupkannya kakinya ke air. Hujan baru saja reda, tapi bukan air yang dingin yang membuatnya bergidik. Air kolam itu hangat, panas malah, dan perbedaan suhu yang cukup drastis dengan udara sekitarnya mampu membuat siapapun menggemeretakkan gigi.

Tapi begitu ia meluncur ke dalam air itu sepenuhnya, drastisnya perubahan suhu itu tak lagi dirasanya. Disandarkannya bahunya ke pinggiran kolam, dan dipermainkannya kakinya berkecipak di air. Uap air panas menguar menantang udara malam yang dingin. Bau belerang samar-samar bercampur bau pepohonan yang basah terguyur hujan memenuhi udara. Dan seketika, rasa nyaman memenuhi seluruh syarafnya.

Ia mengurai sanggulnya, dan rambutnya yang kecoklatan meluncur menembus air. Diraihnya botol kuningan yang bertengger di sebentuk baki di pinggiran kolam, dan dialirkannya cairan bening di dalamnya ke telapak tangannya. Aroma campuran bunga mawar dan kenanga menusuk hidung. Itu aroma yang keras, intens. Tetapi begitu air menyentuh dan melarutkannya, aroma itu berangsur memudar, namun tidak hilang. Membaur bersama bau samar belerang, aroma itu meninggalkan jejak nan halus di udara. Harum membelai, lembut menenangkan. Dan kini gadis itu meraih lagi sebentuk gayung kayu kecil dari baki, dan mulai membilas rambutnya dengan cairan yang sama.

Disandarkannya bahunya pada pinggiran kolam, dan matanya menerawang jauh. Melebihi kerimbunan pohon kamboja yang memagari kolam. Melebihi kungkungan tembok di baliknya. Melebihi kelamnya langit tanpa bintang yang masih menyisakan gumpalan awan mendung. Melebihi segalanya.

Kenikmatan semacam ini adalah suatu hal yang sangat langka di zaman itu, di tengah dentang pedang dan deru pemberontakan. Ia tahu, saat ia mendengar samar bunyi kentongan dipalu tatkala ia menyeret selendangnya melintasi jajaran pohon kenanga yang memagari jalan batu menuju taman mandi itu. Ia tahu, tatkala penjaga taman memberitahunya dengan nada ketakutan sewaktu ia menyentuhkan tangan membuka gerbang kayu taman itu. Ia tahu, tatkala ia melambaikan tangan dengan tenang dan tetap melangkah memasuki taman, tak menghiraukan peringatan penjaga, dan si penjaga pun menutup pintu di belakangnya sembari matanya mendelak-delik ketakutan ke segala arah. Ia tahu, dari samar riuh suara di luar sana, bahwa hal buruk itu tak hanya ada dalam khayalnya. Tapi tetap diluncurkannya tubuhnya ke mata air panas itu. Dan selanjutnya, bersama dengan larutnya pikirannya dalam aroma mawar campur belerang yang menguar, perlahan ia pun mulai memutuskan hubungan dengan dunia sekelilingnya.

Tapi sekejap pikiran tenangnya terganggu oleh riuh yang mengguruh. Ia memantapkan pikirannya untuk tidak mendengar apapun, bahwa segala keriuhan itu hanya akan berlangsung sementara. Keriuhan itu wajar, sangat wajar, apalagi jika memang benar kata si penjaga barusan, bahwa ada buronan kabur dan para penjaga penjara sedang mengejarnya. Keriuhan itu hanya akan lewat tak lebih dari semenit. Dan benar saja, semenit, dua menit, tiga menit … Kian lama ia menutup mata, kian samar bunyi kentongan dipalu, dan kian pudar riuh rendah teriakan orang dan derap kuda dipacu. Hingga akhirnya segalanya hilang, dan ia pun membuka mata.

Tapi di sana, segala ketenangan itu mengkhianatinya.

Di sana, di kerimbunan pohon di salah satu sudut tembok yang melingkarinya, ia mendengar suara gemerisik. Sangat jelas. Dan ia tahu benar, dari ujung-ujung dedaunan di pucuk pohon yang tak berdesir, dari langit yang kehilangan awannya setelah hujan berlalu, bukan anginlah yang menyebabkan gemerisik itu.

Dan benar saja, sesosok tubuh menyibak kegelapan. Tampak bagai siluet, hitam dalam latar belakang yang tidak lebih pekat, bergerak menuju ke arahnya.

Gadis itu hampir berteriak, tetapi entah apa yang menahannya, suaranya sendiri mengkhianatinya dengan enggan melewati tenggorokannya.

Siluet itu bergerak, bergerak menuju ke arahnya. Dalam gerakan kasar yang aneh. Seperti mayat hidup.

Gadis itu menahan napas.

Dan sosok itu kian mendekat. Mendekat, mendekat, dan tanpa diduga-duga, tiba-tiba limbung ke arahnya.

Bunyi gedebuk dan cipratan air yang aneh membuat penjaga taman di luar gerbang menghambur dari duduknya. Hanya kesopanannyalah yang masih menahannya untuk tidak menyerbu masuk, dan hanya mengetuk pintu dengan gugup.

“Gusti…,” rasa paniknya, ditambah pikirannya yang tidak-tidak, membuatnya setengah berteriak.

Tidak ada suara apapun dari dalam. Ia pun mengulang teriakannya, kali ini diiringi dengan mengerasnya ketukan hingga hampir menyerupai gedoran.

Dyah Kinanti mendadak tersadar dari keterkejutannya. Tapi entah apa yang menahannya untuk tidak berteriak membalas memanggil penjaga penjara di luar sana. Ditariknya kainnya yang tersampir di pinggir kolam, dan dihampirinya sosok yang jatuh tadi.

“Gusti…,” kali ini gedoran di pintu kian menguat, dan nada suara prajurit di depan sudah tidak terkontrol lagi.

“Ya…,” Kinanti membalas, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok itu.

“Gusti baik-baik saja?”

Kali ini Kinanti sudah selangkah dari sosok itu. Dan entah apa yang membuatnya mencoba menahan suara, bersandiwara dengan nada tenang, “Aku tidak apa-apa. Hanya botol sabunku jatuh. Tidak apa. Teruskanlah berjaga.”

“Maaf mengganggu ketenangan Gusti,” dan teriakan di luar pun berlalu.

Kinanti memberanikan diri mengulurkan tangannya meraih sosok itu. Entah ia pingsan atau mati, yang jelas ia tidak bergerak sama sekali. Dan ia demam, panas sekali begitu Kinanti menyentuh dahinya. Dari hembusan napasnya yang masih tersisa, dan detak nadi di lehernya, walau samar terasa, Kinanti tahu ia masih hidup.

Gadis itu pun mengumpulkan kekuatannya untuk membalik sosok itu. Alangkah terkejutnya ia, tatkala mendapati bahwa sosok itu adalah seorang perempuan. Terlebih ketika ia memberanikan diri menyingkap rambut kusut masai yang menutupi wajah sosok itu, dan mengusapkan kainnya membersihkan noda-noda kotor di sana.

Wajah itu tidak secantik rembulan. Kulitnya tidak halus, kasar dan kusam, terlebih di bawah penerangan samar. Dan luka-luka serta memar entah apa terpajang di sana.

Tetapi perempuan itu masih muda, sangat muda. Usianya mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun, bahkan bukan tak mungkin lebih muda ketimbang dirinya sendiri.

Satu tanda tanya keraguan mulai terbit di hati Kintan. Inikah buronan penjara itu? Bukankah lebih masuk akal bila ia adalah seorang budak yang melarikan diri dari tuannya, atau anak gadis yang dijual untuk menghidupi keluarganya, atau selir orang kaya yang kebetulan mengidap penyakit suka menyiksa?

Dan dalam sekejap, rasa kasihan mulai terbit di hatinya, mengalahkan ketakutannya. Tidak, gadis semuda ini tidak mungkin buronan penjara.

Lebih dari segalanya, bukannya ia tidak mendengar ucapan si penjaga taman tadi. Buronan yang sedang dicari itu katanya menewaskan dua penjaga dan melukai tiga lainnya dalam pelariannya. Dan ia merebut pedang penjaga, menyeret pedang yang berlumur darah itu dengan seringai tawa di wajahnya yang bersimbah darah. Hampir seperti maniak gila. Bagaimanapun, image tentang seorang pembunuh tidak secuil pun tampak di raut wajah sosok lemah di hadapan Kinanti saat ini.

Tidak, gadis ini tidak mungkin pembunuh buron.

Tapi waktu tak memberikan Kinanti banyak waktu untuk menimbang dan berpikir. Suara gedoran di pintu kembali terdengar, kali ini ditingkah suara lain. Dua suara. Satu adalah suara penjaga tadi, yang seolah berusaha mencegah seseorang lain masuk dengan nada ketakutan. Mencegah pemilik suara kedua itu. Suara pria yang lebih tajam. Suara yang dikenalnya dan amat dibencinya.

Kinanti menarik sosok lemah itu bahkan tanpa berpikir. Menceburkannya ke dalam kolam bersamanya. Dan menarik kainnya menutupi sosok itu.

“Kau di dalam, Kintan? Biarkan aku masuk!”

“Rakai Patiluan!” balas Kintan, berusaha menjaga agar suaranya terdengar tenang dan berwibawa, “Kau tahu amat tidak sopan menggedor pintu selagi seorang gadis sedang mandi, bukan?”

“Aku tak peduli! Aku masuk!” dan dengan satu tendangan, pintu menjeblak terbuka, menampakkan sosok seorang pria yang berjalan dengan pongahnya, diikuti sosok si penjaga yang tampak mengkeret ketakutan di belakangnya.

“Maafkan hamba, Gusti. Hamba sudah bilang …”

“Tidak apa. Aku sudah tahu sifat Duli-mu yang satu ini. Dan aku juga memaklumi kelancangannya.”

Ia mengatakan kata ‘Duli’ dengan penuh tekanan, seperti buluh tajam. Dan sosok bernama Patiluan itu mengendus kasar.

“Kelancangan-mu yang aku maafkan, Kintan. Aku bahkan tak tahu kau diizinkan memakai kolam ini. Terlebih di saat seperti ini, sendirian pula.”

“Begitukah? Jika kau tidak tahu, Yang Mulia Paduka Kertanegara sendiri yang mengizinkanku mandi, jika tidak bisa dibilang menyuruhku. Apa kau berani mempertanyakan titah Beliau?”

“O ya? Dan atas dasar kesempatan apa kau bisa mendapatkan izin itu?”

“Itu izin khusus yang diberikan …”

“Atas dasar apa kau bisa bicara dengan Yang Mulia, sehingga kau bisa mendapatkan izin itu?” Patiluan meralat pertanyaannya yang tidak jelas, setengah berteriak.

Kintan memandang lurus kepadanya, lantas menekankan dengan nada tenang, “Yang Mulia memanggilku tadi siang, untuk membicarakan hal penting.”

“Hal penting apa? Kau …” teriakan beringas Patiluan yang lebih pada mempertanyakan daripada menanyakan itu terhenti seketika. Wajahnya merah padam dan pandangannya langsung menembus mata Kintan, seakan siap memberangusnya.

Kintan tahu ada satu kata kasar yang sudah hinggap di ujung bibir pria itu yang urung diucapkannya. Tapi tertahannya kata itu sama sekali tidak membuatnya merasa tidak lebih terhina.

Kintan membalas dengan pandangan tak tergoyahkan. Nadanya tetap tenang. “Adalah hak Paduka untuk memanggil siapapun yang ia kehendaki, dan adalah kewajiban siapapun rakyat negeri ini untuk menjawab panggilan itu.”

“Dan seorang perempuan tak bermartabat sepertimu akan siap datang kapan pun, tak peduli apa di balik panggilan itu,” nada suara Patiluan merendah, namun tetap tajam wujudnya. Kintan bisa mengendus bau alkohol menguar dari mulut pria itu, ketika wajahnya hanya berjarak setelapak tangan dari wajahnya.

Ia bertekad untuk menghancurkan pria itu.

“Tidakkah seharusnya kau mengejar buronan penjara yang kau loloskan, Yang Mulia? Kudengar ia membunuh dua anak buahmu?”

“Jangan mengubah pembicaraan!”

“Aku bicara demi nama baikmu, atau kau lebih suka ayahandamu yang malang kerepotan mencari cara supaya kau tetap dipertahankan?”

“Diam…”

“Tidakkah kau juga peduli berapa banyak upaya yang ia keluarkan agar kau tetap berada di kursi kecilmu itu …”

“Diam…”

“Berapa orang yang harus ia yakinkan akan bakatmu…”

“Diam…”

“Dan bagaimana ia harus menjaga agar hanya kau yang menonjol…”

“Diam!”

“… Demi untuk pengangkatan resmimu…”

“Diam kataku!”

“… Sementara kau sendiri tak menunjukkan satu prestasi pun?”

“DIAM!” raung Patiluan. Mukanya benar-benar merah padam, hampir menghitam. Dan ia mengatakan kalimat selanjutnya dengan badan bergetar hebat, “Aku akan mendapatkan hakku! Itu sudah pasti!”

“Kalau begitu urusi pekerjaanmu dan berhenti menggangguku dengan kekurangajaranmu!” teriak Kintan sungguh-sungguh. Patiluan terpana. Ia jarang mendengar gadis itu berteriak, walau ia sudah mengenal betul sindiran-sindiran tajamnya dan kekeraskepalaannya. Ia mundur selangkah, berusaha memunguti harga dirinya yang terserak dalam dunianya yang terus berputar karena pengaruh alkohol.

“Baik. Akan kulakukan! Akan kutangkap dan kubunuh buronan itu untukmu!”

“Itu bagus.”

“Dan setelah itu, aku akan kembali untuk menyumpal mulut kurang ajarmu itu dengan darahmu!”

Kintan terpana sejenak, menelan ludah. Tetapi ia cepat membangun kembali bentengnya dan berkata dengan penuh wibawa, “Akan kunanti waktunya.”

Patiluan membuang muka, berteriak memanggil penjaga yang sejak tadi menggigil di sudut.

“Kau ambilkan aku segel kepala penjara, dan pedangku yang terbaik!" katanya tanpa menunggu si penjaga mendekat. "Buat surat perintah pada penjaga perbatasan untuk menutup gerbang! Juga panggil wakil-wakilku dan suruh mereka terjun langsung mengepalai pengejaran! Cepat!”

Si penjaga tak pernah berhubungan dengan penjara sebelumnya, dan pemberian tugas itu jelas membuatnya kebingungan.

“Hamba, Tuan?”

“Ya, kamu!”

“Tapi…” ia menelan ludah. “Di mana hamba harus mendapatkan segel … lalu surat perintah … dan mencari wakil Tuan … itu …”

Suara si penjaga tercekat, dan Kintan terpekik. Patiluan sudah meraih keris kecil milik Kintan yang tergeletak di baki di pinggiran kolam dan melemparnya—langsung menembus leher si penjaga.

Penjaga malang itu mati tersedak darahnya sendiri. Kintan melolong ngeri, dan mulai menghujat tidak jelas.

“Kau kejam! Tidak berperikemanusiaan! Iblis!”

“Dia lamban! Bodoh! Tolol!” maki Patiluan, mendekati mayat itu dan mulai sembarangan menendanginya dengan kuda-kuda sempoyongan. “Dan lagipula ia sudah mendengar terlalu banyak, apa yang kauharap kulakukan?! Memberinya hadiah?!”

Tiba-tiba terdengar lagi lolongan ketakutan yang panjang dan menggetarkan. Tapi itu tidak keluar dari mulut Kintan, yang sudah membekap mulutnya sendiri.

Bersamaan, Kintan dan Patiluan memalingkan muka ke arah sumber suara. Satu sosok ada di sana, seorang gadis muncul tiba-tiba entah dari mana, bersandar lemas pada gerbang taman.

rontal satu - dara di awal malam (1)

rontal satu
dara di awal malam


Ini garisan alam.

Dua alur tipis merah terang menyayat udara, menyilang dalam hitamnya malam, lantas pendar menjadi bola-bola kecil sebelum akhirnya tertarik gravitasi bumi, jatuh memberkahi tanah.

Turun bersama garis-garis hujan yang bagai serbuan ribuan jarum halus utusan para dewa.

Dan dialah itu, sosok di tengah hujan.

Tubuhnya mengawang—bergerak cepat di antara tanah dan udara. Meninggalkan ciprat air dan lumpur tiap kali kakinya menjejak.

Lari, lari, lari.

Tiada yang dapat dipikirkannya selain lari. Bahkan mungkin ia sama sekali tidak berpikir saat diambilnya langkah berputar memunggungi tubuh yang sudah jatuh itu. Dan ditinggalkannya tubuh itu dalam hujan. Membiarkan darahnya luntur oleh hujan yang terus membuncah, seiring dengan lepasnya nyawa dalam erangan terakhirnya.

Dan darah yang semula masih mengalir pada nadi sosok yang sudah tumbang itu masih menetes dari ujung pedang yang dipegangnya. Jatuh ke tanah menanda jejak pada setiap langkah pelariannya. Tapi tiada jejak, tiada tapak di tanah yang basah, tiada darah menetes pada setiap langkah. Hujan mengguyur seluruhnya.

◊ ◊ ◊